Rabu, 01 September 2010

The Meaning of You


Aku tatap kumpulan orang-orang di taman sana. Mereka tampak bahagia, bersama keluarga mereka. Mereka tersenyum satu sama lain, tertawa dan bercanda. Rasanya sungguh indah melihat kebersamaan mereka. Kebersamaan sebagai satu keluarga yang utuh. Sang ayah yang menjaga keluarganya, sang ibu yang penuh kasih saying dan sang anak yang menjadi kebahagian untuk ayah dan ibunya. Sungguh indah rasanya memiliki keluarga.

Melihat keceriaan mereka sungguh membuatku bahagia. Setidaknya aku mempunyai gambaran tentang bagaimana itu keluarga. Hal terpenting di dunia ini yang rasanya tak dapat ku raih. Bukan karena aku tak punya keluarga, tapi hanya kurang lengkap saja. Tanpa seorang ayah. Dan anehnya aku terbiasa akan hal itu. Aku terbiasa hidup tanpa sosoknya. Terbiasa dan cukup dengan kasih sayang seorang ibu saja. Ibuku yang selalu ada untukku dan menjadi panutanku.

Ibuku tak pernah mengajariku untuk membenci ayahku. Dan memang aku tak pernah membencinya sebelum ini. Sebelum 1 bulan yang lalu dia hadir dalam kehidupanku. Setelah 16 tahun dia meninggalkan kami. Entah kenapa kehadiranya justru membuatku tak nyaman. Aku juga tak tahu kenapa. Mungkin karena aku terbiasa tanpanya sehingga sosoknya justru seperti orang asing bagiku.

Tapi kurasa bukan itu yang membuatku paling tak nyaman dengan kehadiranya. Kurasa karena kehadiranya justru membuat orang yang paling aku cintai, ibuku, terluka. Entah kenapa aku merasa kehadiranya membuat luka yang selama ini ibuku coba untuk tutupi terbuka lagi. Awalnya aku tak tahu kenapa raut muka ibuku berubah menjadi murung seketika saat dia dating. Tapi akhirnya aku menemukan jawabanya. Jawaban dari pertanyaan besar yang selama 16 tahun ini ada di kepalaku. Pertanyaan yang tak pernah aku tanyakan pada ibuku, karena aku takut melukainya. Pertanyaan tentang sosok ‘dia’ dan kemana dia selama ini.

Flashback

“kenapa pulang?” aku tak sengaja mendengar pembicaraan ibuku dengan dia. Tapi kemudian ketaksengajaan itu berubah menjadi suatu rasa penasaran dan akhirnya aku putuskan untuk mneguping pembicaraan mereka.

“Jadi aku tak boleh pulang? Aku kan juga punya keluarga disini”

“Kenapa baru sekarang kau anggap kami keluarga? Apa kau sudah bosan dengan ‘keluarga’ disana?

“Dia meberiku izin untuk kesini, untuk menemui keluargaku”

“Jadi selama ini kau tak pernah kesini karena tak dapat izin darinya? Meskipun itu saat anakmu dilahirkan? Pernahkah selama ini kau mencari kabar tentangnya?” dia juga anakmu kan?” kulihat ibuku mulai meneteskan air matanya. Air mata yang selama ini berusaha aku dan kakakku jaga agar tak terjatuh. Tapi sekarang karena ‘dia’ air mata itu terjatuh.

“itu karena saat itu juga dia sedang melahirkan. Lagipula sejak awal kan aku sudah tak mengharapkan anak lagi. Cukup seorang anak laki-laki saja bagiku. Tapi kau tak mendengarnya.” Ucapan itu membuatku juga ikut meneteskan air mata. Jadi selama ini kehadiranku tak diharapkanya.

PLAKK..

Ibuku menamparnya. Kurasa ibuku terluka dengan perkataanya. “ Kalau kau tak mengharapkanku, taka pa. tapi kenapa darah dagingmu sendiri juga tak kau harapkan? Tak punya hati nuranikah kau?”

Ibuku terisak kemudian melanjutkan kata-katanya. “ Pergilah! Urus saja anak istrimu disana. Urus saja keluarga barumu.”

“kau tak pernah berubah.”

“pergi!”

Dan orang itupun pergi. Terjawab sudah semuanya.jadi selama ini ketidakhadiranya dalam hidyupku karena dia punya keluarga baru. Jadi selama ini dia meninggalkan ibuku karena menikah lagi. Dan yang paling membuatku terluka adalah dia tidak pernah mengharapkanku sebagai anak. Kehadiranku di dunia ini tak diinginkan. Kenapa aku harus punya orang yang seharusnya menjadi ayah seperti dia.

End flashback.

Sampai saat ini aku belum bisa menyebutnya ayah. Belum bisa mengakuinya sebagai ayahku. Belum bisa memafkanya karena telah melukai ibuku sedemikian dalam.

Mungkin aku bersalah dan berdosa akan sikapku ini. Tapi sungguh aku belum bisa menerimanya sebagai seorang ayah. Bagaimana mungkin seorang ayah bersikap seperti itu. Hatiku masih belum bisa terbuka untuknya. Entah sampai kapan aku begini. Aku juga tak tahu.

Mungkin aku memang seorang anak yang jahat. Anak yang bahkan tak mau mengakui keberadaan ayahnya.bukan mauku seperti itu. Bukan inginku untuk seperti ini.

Jujur aku juga berharap seperti anak-anak lainya. Jujur aku iri dengan mereka. Mereka dapat dengan mudah memanggil ayah mereka. Dapat dengan mudah memeluk ayah mereka. Dapat dengan mudah meminta perlindungan ayahnya. Tapi aku. Nope!

Dan ayah mereka. Dengan tulus mengulurkan tangan untuk anak-anaknya. Dengan setia melindungi anaknya. Dengan sigap selalu mendukung anak-anaknya. Tak seperti dia yang justru meninggalkan anaknya.

Aku harus bagaimana sekarang? Logikaku mengatakan untuk memafkanya. Tapi hatiku masih terlalu sakit untuk bisa memaafkanya. Aku bingung sangat bingung.

Ah biarlah ini menjadi cerita hidupku. Biarlah masalah ini aku selesaikan sendiri. Entah apa aku bisa memafkanya, tapi aku berharap suatu saat nanti aku akan memaafkanya. Tapi tidak sekarang. Aku butuh waktu. Aku juga harus melihat dan mengenalnya lebih jauh.

Mungkin dengan berjalanya waktu aku bisa memafkanya. Mungkin. Aku juga tak tahu.

Dan pada kenyataanya meskipun ia sempat muncul dalam hidupku. Tapi dia tidak tinggal bersama keluargaku, ibu dan kakakku. Tapi kurasa itu lebih baik karena aku sudah cukup hanya memiliki ibu dan kakak. Aku sungguh sudah sangat bersyukur memiliki mereka. Karena mereka adalah orang-orang yang hebat.

Dan untuk kau yang seharusnya aku sebut “Ayah” maafkan aku masih belum bisa menerimamu. Belum bisa memaafkanmu. Tapi sungguh aku tak pernah berharap seperti ini. Kalau boleh berharap aku juga ingin keluarga yang lengkap. Aku juga berharap aku punya ayah. Dan aku berharap aku bisa menerimamu suatu sat nanti. Maaf….

2 komentar:

Cherry blossom mengatakan...

my fiction??
or true story??

anyway, aku tersentuh sekali baca ini,,
Tak mudah memang memaafkan 'dia' yang seharusnya disebut ayah jika aku berada dalam kondisi yang sama,,

Hmm, just keep pray to Allah,, agar kelak 'dia' dibukakan hatinya agar kembali peduli pada keluarga yang selama ini ditinggalkannya,,
Meski mungkin sejujurnya kehadiran 'dia' itu tidak begitu berarti juga untuk kita,, karena kasarnya kita sudah terbiasa ada atau tidak ada sosok sepertinya,,

lizfaith mengatakan...

true story dari someone nyong..
hahaha
emang memaafkan orang tuh ga semudah membalikan jari belaka,,^^